HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI MENURUT
SYARI'AT ISLAM YANG MULIA
Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
senantiasa menganjurkan kaum muda untuk
menyegerakan menikah sehingga mereka tidak
berkubang dalam kemaksiatan, menuruti hawa
nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali
keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi
shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda:
ﻳﺎ ﻣﻌﺸﺮ ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﻣﻦ ﺍﺳﺘﻄﺎﻉ ﻣﻨﻜﻢ ﺍﻟﺒﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺰﻭﺝ، ﻓﺈﻧﻪ ﺃﻏﺾ
ﻟﻠﺒﺼﺮ ﻭﺃﺣﺼﻦ ﻟﻠﻔﺮﺝ، ﻭﻣﻦ ﻟﻢ ﻳﺴﺘﻄﻊ ﻓﻌﻠﻴﻪ ﺑﺎﻟﺼﻮﻡ ﻓﺈﻧﻪ ﻟﻪ
ﻭﺟﺎﺀ .
"Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara
kalian berkemampuan untuk menikah, maka
menikahlah! Karena menikah itu lebih
menundukkan pandangan, dan lebih
membentengi farji (kemaluan). Dan
barangsiapa yang tidak mampu, maka
hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu
dapat membentengi dirinya." [1]
Anjuran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam untuk segera menikah mengandung
berbagai manfaat, sebagaimana yang
dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:
1. Melaksanakan perintah Allah Ta'ala.
2. Melaksanakan dan menghidupkan Sunnah
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.
3. Dapat menundukkan pandangan.
4. Menjaga kehormatan laki-laki dan
perempuan.
5. Terpelihara kemaluan dari beragam maksiat.
Dengan menikah, seseorang akan terpelihara
dari perbuatan jelek dan hina, seperti zina,
kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara
diri dari berbagai macam perbuatan keji, maka
hal ini adalah salah satu sebab dijaminnya ia
untuk masuk ke dalam Surga.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﻣﻦ ﻳﻀﻤﻦ ﻟﻲ ﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﻟﺤﻴﻴﻪ ﻭﻣﺎ ﺑﻴﻦ ﺭﺟﻠﻴﻪ ﺃﺿﻤﻦ ﻟﻪ ﺍﻟﺠﻨﺔ.
"Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di
antara dua bibir (lisan)nya dan di antara dua
paha (kemaluan)nya, aku akan jamin ia masuk
ke dalam Surga." [2]
6. Ia Juga Akan Termasuk Diantara Orang-
Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda tentang tiga golongan yang ditolong
oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk
memelihara dirinya dan pandangannya, orang
yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak
yang ingin melunasi hutangnya (menebus
dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak
lagi). Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
ﺛﻼﺛﺔ ﺣﻖ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻮﻧﻬﻢ: ﺍﻟﻤﺠﺎﻫﺪ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﺍﻟﻠﻪ، ﻭﺍﻟﻤﻜﺎﺗﺐ ﺍﻟﺬﻱ
ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻷﺩﺍﺀ، ﻭﺍﻟﻨﺎﻛﺢ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺮﻳﺪ ﺍﻟﻌﻔﺎﻑ.
"Ada tiga golongan manusia yang berhak
mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi
sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar
merdeka, dan (3) orang yang menikah karena
ingin memelihara kehormatannya." [3]
7. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai
Ganjaran Yang Banyak.
Bahkan, Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam menyebutkan bahwa seseorang yang
bersetubuh dengan isterinya akan
mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,
… ﻭﻓﻲ ﺑﻀﻊ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺻﺪﻗﺔ…
"… dan pada persetubuhan salah seorang dari
kalian adalah shadaqah…" [4]
8. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana
firman Allah 'Azza wa Jalla:
ﻭﻣﻦ ﺁﻳﺎﺗﻪ ﺃﻥ ﺧﻠﻖ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﺃﺯﻭﺍﺟﺎ ﻟﺘﺴﻜﻨﻮﺍ ﺇﻟﻴﻬﺎ ﻭﺟﻌﻞ
ﺑﻴﻨﻜﻢ ﻣﻮﺩﺓ ﻭﺭﺣﻤﺔ ﺇﻥ ﻓﻲ ﺫﻟﻚ ﻟﺂﻳﺎﺕ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﺘﻔﻜﺮﻭﻥ
"Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya
ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan
untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan
sayang. Sungguh, pada yang demikian itu
benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran
Allah) bagi kaum yang berfikir." [Ar-Ruum : 21]
Seseorang yang berlimpah harta belum tentu
me-rasa tenang dan bahagia dalam
kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah
atau justru melakukan pergaulan di luar
pernikahan yang sah. Kehidupannya akan di-
hantui oleh kegelisahan. Dia juga tidak akan
mengalami mawaddah dan cinta yang
sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan
oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam:
ﻟﻢ ﻧﺮ ﻟﻠﻤﺘﺤﺎﺑﻴﻦ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻨﻜﺎﺡ.
"Tidak pernah terlihat dua orang yang saling
men-cintai seperti (yang terlihat dalam)
pernikahan."[5]
Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada
hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka,
bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan
rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan
mengalami ketenangan karena dia berada
dalam perbuatan dosa dan laknat Allah.
Terlebih lagi jika mereka hidup berduaan tanpa
ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan
terjerumus dalam lembah perzinaan yang
menghinakan mereka di dunia dan akhirat.
Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis
merupakan perbuatan yang terlarang dan
hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara
suami dengan isteri atau dengan mahramnya.
Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi
wa sallam:
ﻻﻳﺨﻠﻮﻥ ﺭﺟﻞ ﺑﺎﻣﺮﺃﺓ ﺇﻻ ﻭﻣﻌﻬﺎ ﺫﻭ ﻣﺤﺮﻡ.
"Jangan sekali-kali seorang laki-laki
bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si
wanita itu ber-sama mahramnya." [6]
Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah
bapaknya, pamannya, kakaknya, dan
seterusnya. Berduaan dengan didampingi
mahramnya pun harus ditilik dari kepen-tingan
yang ada. Jika tujuannya adalah untuk ber-
pacaran, maka hukumnya tetap terlarang dan
haram karena pacaran hanya akan
mendatangkan kegelisahan dan
menjerumuskan dirinya pada perbuatan-
perbuatan terlaknat. Dalam agama Islam yang
sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran
meski dengan dalih untuk dapat saling
mengenal dan memahami di antara kedua
calon suami isteri.
Sedangkan berduaan dengan didampingi
mahramnya dengan tujuan meminang (khitbah)
, untuk kemudian dia menikah, maka hal ini
diperbolehkan dalam syari'at Islam, dengan
ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula
oleh syari'at.
9. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki
anak. Dengan menikah –dengan izin Allah- ia
akan mendapatkan keturunan yang shalih,
sehingga menjadi aset yang sangat berharga
karena anak yang shalih akan senantiasa
mendo'akan kedua orang tuanya, serta dapat
menjadikan amal bani Adam terus mengalir
meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di
dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
ﺇﺫﺍ ﻣﺎﺕ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺍﻧﻘﻄﻊ ﻋﻤﻠﻪ ﺇﻻ ﻣﻦ ﺛﻼﺛﺔ: ﺻﺪﻗﺔ ﺟﺎﺭﻳﺔ ﻭﻋﻠﻢ
ﻳﻨﺘﻔﻊ ﺑﻪ ﻭﻭﻟﺪ ﺻﺎﻟﺢ ﻳﺪﻋﻮ ﻟﻪ.
"Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah
amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang
mendo'akannya."[7]
10. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin
Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad
Shallallaahu 'Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu
'alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-
wanita yang subur, supaya ia memiliki
keturunan yang banyak.
Seorang yang beriman tidak akan merasa takut
dengan sempitnya rizki dari Allah sehingga ia
tidak membatasi jumlah kelahiran. Di dalam
Islam, pembatasan jumlah kelahiran atau
dengan istilah lain yang menarik (seperti
"Keluarga Berencana") hukumnya haram dalam
Islam. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
justru pernah mendo'akan seorang Shahabat
beliau, yaitu Anas bin Malik radhiyallaahu
'anhu, yang telah membantu Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dengan
do'a:
ﺍﻟﻠﻬﻢ ﺃﻛﺜﺮ ﻣﺎﻟﻪ ﻭﻭﻟﺪﻩ ﻭﺑﺎﺭﻙ ﻟﻪ ﻓﻴﻤﺎ ﺃﻋﻄﻴﺘﻪ.
"Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan
berkahilah baginya dari apa-apa yang Engkau
anugerahkan padanya." [8]
Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang
yang paling banyak anaknya dan paling banyak
hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas,
"Anakku, Umainah, menceritakan kepadaku
bahwa anak-anakku yang sudah meninggal
dunia ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin
Yusuf memasuki kota Bashrah." [9]
Semestinya seorang muslim tidak merasa
khawatir dan takut dengan banyaknya anak,
justru dia merasa bersyukur karena telah
mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu 'alaihi
wa sallam yang mulia. Allah 'Azza wa Jalla akan
memudahkan baginya dalam mendidik anak-
anaknya, sekiranya ia bersungguh-sungguh
untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi
Allah 'Azza wa Jalla tidak ada yang mustahil.
Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan
keturunan adalah:
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar
yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan
pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan
pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong
dalam kebajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban
orang tuanya.
6. Do'a mereka akan menjadi amal yang
bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak
bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika
masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan
menjadi syafa'at (penghalang masuknya
seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya
di akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya
dengan api Neraka, manakala orang tuanya
mampu menjadikan anak-anaknya sebagai
anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah
satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika
jihad fi sabilillah dikumandangkan karena
jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.
Anjuran Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa
sallam ini tentu tidak bertentangan dengan
manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di
dalamnya. Meskipun kaum kafir tiada henti-
hentinya menakut-nakuti kaum muslimin
sepuaya mereka tidak memiliki banyak anak
dengan alasan rizki, waktu, dan tenaga yang
terbatas untuk mengurus dan memperhatikan
mereka. Padahal, bisa jadi dengan adanya
anak-anak yang menyambutnya ketika pulang
dari bekerja, justru akan membuat rasa letih
dan lelahnya hilang seketika. Apalagi jika ia
dapat bermain dan bersenda gurau dengan
anak-anaknya. Masih banyak lagi keutamaan
memiliki banyak anak, dan hal ini tidak bisa
dinilai dengan harta.
Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus
yakin dan mengimani bahwa Allah-lah yang
memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki
bagi hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari
pemberian rizki Allah 'Azza wa Jalla, meski ia
hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang
sangat dalam atau burung yang terbang
menjulang ke langit. Allah 'Azza wa Jalla
berfirman:
ﺍ ﻣﻦ ﺩﺍﺑﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺄﺭﺽ ﺇﻟﺎ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻠﻪ ﺭﺯﻗﻬﺎ ﻭﻳﻌﻠﻢ ﻣﺴﺘﻘﺮﻫﺎ
ﻭﻣﺴﺘﻮﺩﻋﻬﺎ ﻛﻞ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ ﻣﺒﻴﻦ
Dan tidak satu pun makhluk bergerak
(bernyawa) di bumi melainkan semuanya
dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat
kediamannya dan tempat penyimpanannya.
Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh
Mahfuzh)." [Huud : 6]
Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja
hanyalah sebagai sarana datangnya rizki, bukan
yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba
Allah 'Azza wa Jalla diperintahkan untuk
berusaha dan bekerja, sebagai sebab
datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat
maksiat kepada Allah 'Azza wa Jalla dalam
usahanya mencari rizki. Firman Allah 'Azza wa
Jalla:
ﻭﻣﻦ ﻳﺘﻖ ﺍﻟﻠﻪ ﻳﺠﻌﻞ ﻟﻪ ﻣﻦ ﺃﻣﺮﻩ ﻳﺴﺮﺍ
"Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah,
niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya
dalam urusannya." [Ath-Thalaq : 4]
Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun
yang membenarkan seseorang membatasi
dalam memiliki jumlah anak, misalnya dengan
menggunakan alat kontrasepsi, yang justru
akan membahayakan dirinya dan suaminya,
secara medis maupun psikologis.
APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu,
Mahaadil, Maha Mengetahui, dan
Mahabijaksana menganugerahkan anak
kepada pasangan suami isteri, dan ada pula
yang tidak diberikan anak. Allah 'Azza wa Jalla
berfirman:
ﻭﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ : ﺍﻗﺴﻤﻮﺍ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺑﻴﻦ ﺃﻫﻞ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﻋﻞ ﻛﺘﺎﺏ ﺍﻟﻠﻪ ﻓﻤﺎ
ﺗﺮﻛﺖ ﺍﻟﻔﺮﺍﺋﺾ ﻓﺌﻸﻭﻟﻰ ﺭﺟﻞ ﺫﻛﺮ ﻟﻠﻪ ﻣﻠﻚ ﺍﻟﺴﻤﺎﻭﺍﺕ ﻭﺍﻟﺄﺭﺽ
ﻳﺨﻠﻖ ﻣﺎ ﻳﺸﺎﺀ ﻳﻬﺐ ﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﺇﻧﺎﺛﺎ ﻭﻳﻬﺐ ﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﺍﻟﺬﻛﻮﺭ ﺃﻭ
ﻳﺰﻭﺟﻬﻢ ﺫﻛﺮﺍﻧﺎ ﻭﺇﻧﺎﺛﺎ ﻭﻳﺠﻌﻞ ﻣﻦ ﻳﺸﺎﺀ ﻋﻘﻴﻤﺎ ﺇﻧﻪ ﻋﻠﻴﻢ ﻗﺪﻳﺮ
"Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia
menciptakan apa yang Dia kehendaki,
memberikan anak perempuan kepada siapa
yang Dia kehendaki, dan memberikan anak
laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau
Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan
perempuan, dan menjadikan mandul siapa
yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui,
Mahakuasa." [Asy-Syuuraa : 49-50]
Apabila sepasang suami isteri sudah menikah
sekian lama namun ditakdirkan oleh Allah
belum memiliki anak, maka janganlah ia
berputus asa dari rahmat Allah 'Azza wa Jalla.
Hendaklah ia terus berdo'a sebagaimana Nabi
Ibrahim 'alaihis salaam dan Zakariya 'alaihis
salaam telah berdo'a kepada Allah sehingga
Allah 'Azza wa Jalla mengabulkan do'a mereka.
Do'a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan
shalih terdapat dalam Al-Qur-an, yaitu:
ﺭﺏ ﻫﺐ ﻟﻲ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﻴﻦ
"Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang
yang shalih." [Ash-Shaaffaat : 100]
ﺭﺑﻨﺎ ﻫﺐ ﻟﻨﺎ ﻣﻦ ﺃﺯﻭﺍﺟﻨﺎ ﻭﺫﺭﻳﺎﺗﻨﺎ ﻗﺮﺓ ﺃﻋﻴﻦ ﻭﺍﺟﻌﻠﻨﺎ ﻟﻠﻤﺘﻘﻴﻦ ﺇﻣﺎﻣﺎ
"…Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami
pasangan kami dan keturunan kami sebagai
penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami
pemimpin bagi orang-orang yang
bertaqwa." [Al-Furqaan : 74]
ﺭﺏ ﻟﺎ ﺗﺬﺭﻧﻲ ﻓﺮﺩﺍ ﻭﺃﻧﺖ ﺧﻴﺮ ﺍﻟﻮﺍﺭﺛﻴﻦ
"…Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku
hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan
Engkau-lah ahli waris yang terbaik." [Al-
Anbiyaa' : 89]
ﺭﺏ ﻫﺐ ﻟﻲ ﻣﻦ ﻟﺪﻧﻚ ﺫﺭﻳﺔ ﻃﻴﺒﺔ ﺇﻧﻚ ﺳﻤﻴﻊ ﺍﻟﺪﻋﺎﺀ
"…Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik
dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha
Mendengar do'a." [Ali 'Imran : 38]
Suami isteri yang belum dikaruniai anak,
hendaknya ikhtiar dengan berobat secara
medis yang dibenarkan menurut syari'at, juga
menkonsumsi obat-obat, makanan dan
minuman yang menyuburkan. Juga dengan
meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang
diajarkan Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
dan terus menerus istighfar (memohon ampun)
kepada Allah atas segala dosa. Serta senantiasa
berdo'a kepada Allah di tempat dan waktu yang
dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Ka'bah,
ketika berada di Shafa dan Marwah, pada
waktu sa'i, ketika wuquf di Arafah, berdo'a di
sepertiga malam yang akhir, ketika sedang
berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]
Apabila sudah berdo'a namun belum terkabul
juga, maka ingatlah bahwa semua itu ada
hikmahnya. Do'a seorang muslim tidaklah sia-
sia dan Insya Allah akan menjadi simpanannya
di akhirat kelak.
Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk
sangka kepada Allah! Hendaknya ia senantiasa
berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah
takdirkan baginya, maka itulah yang terbaik.
Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang
kepada hamba-hamba-Nya, Mahabijaksana
dan Mahaadil.
Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah
kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak
kebaikan yang sesuai dengan syari'at, setiap
hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya,
gunakan waktu untuk membaca buku-buku
tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat,
berusaha membantu keluarga, kerabat
terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah
dan miskin, mengasuh anak yatim, dan
sebagainya.
Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan
baik yang dikerjakan dengan ikhlas mendapat
ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat,
serta dikaruniai anak-anak yang shalih.
[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju
Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir
Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Bogor – Jawa
Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember
2006]
_______
Footnote
[1]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad
(I/378, 425, 432), al-Bukhari (no. 1905, 5065,
5066), Muslim (no. 1400), at-Tirmidzi (no. 1081),
an-Nasa-i (VI/56, 57), ad-Darimi (II/132), Ibnu
Jarud (no. 672) dan al-Baihaqi (VII/77), dari
'Abdullah bin Mas'ud radhiyallaahu 'anhu.
[2]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 6474, 6807), dari Sahl bin Sa'ad
radhiyallaahu 'anhu.
[3]. Hadits hasan: Diriwayatkan oleh Ahmad
(II/251), an-Nasa-i (VI/61), at-Tirmidzi (no. 1655)
, Ibnu Majah (no. 2518) dan al-Hakim (II/160,
161), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallaahu
'anhu. Lihat al-Misykah (no. 3089).
[4]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 1006), al-Bukhari dalam al-Adaabul Mufrad
(no. 227), Ahmad (V/167, 168), Ibnu Hibban (no.
4155 -at-Ta'liiqatul Hisaan) dan al-Baihaqi
(IV/188), dari Abu Dzarr radhiyallaahu 'anhu.
[5]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ibnu
Majah (no. 1847), al-Hakim (II/160), al-Baihaqi
(VII/78) dari Ibnu 'Abbas radhiyallaahu
'anhuma. Lihat Silsilah ash-Shahiihah (no. 624).
[6]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Ahmad
(I/26, 222), al-Bukhari (no. 1862) dan Muslim
(no. 1341) dan lafazh ini menurut riwayat
Muslim, dari Sahabat Ibnu 'Abbas radhiyallaahu
'anhuma.
[7]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh Muslim
(no. 1631), al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad
(no. 38), Abu Dawud (no. 2880), an-Nasa-i
(VI/251), at-Tirmidzi (no. 1376, Ibnu Khuzaimah
(no. 2494), Ibnu Hibban (no. 3016) dan lainnya,
dari Abu Hurairah radhiyallaahu 'anhu. Lihat
Irwaa-ul Ghaliil (no. 1580).
[8]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 6334, 6344, 6378, 6380) dan Muslim (no.
2480, 2481).
[9]. Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(no. 1982). Lihat Fat-hul Baari (IV/228-229).
[10]. Untuk lebih jelasnya, bacalah buku
penulis: "Do'a & Wirid".

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top